cerita dari sahabat : hidup adalah anugerah
Siang yang terik. Dan aku dan beberapa temanku memulai
segala celotehanku tentang beratnya hari itu, curhatan tentang betapa malas dan
pusingnya aku, dan obrolan absurd lain ala wanita yang entah apa temanya.
Hingga sampai pada obrolan tentang peristiwa berat yang pernah kita alami.
“Aku tuh punya nyawa saringan, lhooo”
Seorang teman nyeletuk. Bernada guyon.
Aku memang baru bertemu dan mengenal temanku ini dalam
jangka waktu satu bulang terakhir. Tapi
aku sudah sering mendengar namanya sejak beberapa tahun yang lalu, saat
dia mendapat kecelakaan yang cukup parah.
“Hehe, maksudnya, seakan-akan ada sesuatu “tujuan” yang
menyebabkan aku masih hidup sampai saat ini, “ dia melanjutkan, aku
mencondongkan badan ke depan tanda perhatian pada ceritanya.
“Beberapa kali aku selamat dari maut, misalnya pas kejadian
Gempa Jogja dulu itu, aku sempet kekubur dibawah bangunan rumahku yang ambruk,
tapi syukurnya masih selamat. Dan yang kedua kalinya, waktu kecelakaan dulu
itu...”
Dia kemudian menceritakan betapa mengerikannya kecelakaan
itu, dan betapa kejadian itu memberinya pelajaran yang sangat berharga. Saat
itu temanku dengan temannya mengendarai motor, dan, yah... sebuah mobil
menyeretnya beberapa meter lalu menghempaskannya ke tanah bersama motornya.
Sesaat setelahnya dia tak sadarkan diri.
“Seingetku aku sempet tersadar beberapa kali di rumah sakit,
salah satunya waktu adzan maghrib, karena hari itu hari kamis dan aku ingat
bahwa aku berpuasa. Jadi, aku sempat minta minum ke perawatnya, tapi cuma
diberi setetes air yang hanya cukup untuk membasahi bibir, dan semuanya kembali
gelap.”
Dia dalam kondisi koma selama 3 hari karena harus menjalani
beberapa operasi.
Limpanya pecah dan harus segera diambil, dan delapan tulang
rusuknya patah. Ditambah lagi luka ditelapak kakinya yang parah. Dia juga
mengalami amnesia karena benturan keras membuatnya gagar otak.
“Dan kalian tau nggak apa yang aku rasakan saat di ICU?
Kesendirian. Ya, mungkin orang-orang diluar sana semuanya tahu bahwa aku
kecelakaan, bahwa aku begini dan begitu,tapi tak ada satupun yang bisa
menemaniku untuk benar-benar ada disampingku. Yah, mungkin itulah ibaratnya
ketika kita mati besok. Banyak orang yang akan tahu karena banyak yang
mengumumkannya, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menemani kita.”
Hatiku bergetar.
“Segalanya tersasa sangat sakit. Termasuk kenyataan bahwa
semua ilmuku seakan dicabut oleh Allah. Aku benar-benar tak ingat dan tak tahu
apa-apa. Aku tak mengenal diriku sama sekali, apalagi orang-orang disekitarku.
Hanya ada aku dan Tuhanku. Hingga sampailah pada waktu-waktu yang sulit,yaitu
saat mencoba merehabilitasi semua kondisiku. Semuanya kumulai lagi dari nol.
Bahkan untuk mengingat, juga bernapas tanpa alat, harus kuu pelajari dengan
perlahan-lahan. Tidur terlentang, kemudian belajar terlungkup, terlentang lagi.
Ya, persis ketika kita masih bayi. Kemudian untuk duduk, berdiri, dan kembali
berjalan.... karena pada akhirnya telapak kakiku tidak bisa diselamatkan. Aku
harus diamputasi.”
Ya Allah. Dia sudah menghafal banyak juz di Al Qur’an.
Amnesia pasti terasa sangat berat. Bahkan aku tak sadar bila salah satu kaki
temanku ini adalah kaki palsu. Dia selalu ceria dan tak pernah menampakkan
kesusahan sedikitpun di wajahnya.
“Aku nggak pernah merasa menyesal untuk diamputasi. Allah
sudah memberikan sangat banyak untukku. Nyawaku. Bukanlah suatu hal yang patut
ditangisi saat aku harus mengikhlaskan salah satu kakiku, toh akhirnya aku
masih bisa berjalan, kesini, untuk bertemu kaliaaaan :D. Entah hari ini terasa
berat dan menyesakkan, namun hidup adalah sebuah anugerah yang paling indah.
Apapun dan bagaimanapun kondisi kita. Karena Allah pasti memberikan sebuah
tujuan mengapa kita masih bisa hidup hingga hari ini. Dan bila ada kesempatan
didalam hidupku untuk sebuah kebaikan, maka akan aku datangi. Aku akan
berangkat dalam keadaan berat ataupun ringan.”
Kami semua terhening dalam sebuah senyuman yang dalam.
0 komentar: