Perjuangan sebagai PhD Mama
Mengenyam pendidikan formal sampai tingkat terakhir adalah mimpi yang kutanamkan sejak masih di bangku SD. Ingin sekali selalu semangat dalam menimba ilmu. Mungkin hal ini salah satunya terinspirasi dari ibuku sendiri. Perempuan yang bergelar doktor saat sudah punya tiga orang anak. Dan kini ibuku menjadi professor dibidang ilmu yang ia cintai.
Sosoknya menjadi cambuk pemicu semangatku dalam belajar menimba ilmu. Aku pun terhanyut dalam asyiknya mencicipi dunia pendidikan. Hingga sekarang aku sedang berjuang menyelesaikan jenjang PhD ku.
Rupanya sangat tidak mudah. Sulit sekali. Berat. Aku memulai program PhD ku sebulan setelah menikah, dan LDM dengan suami. Kami hanya bertemu paling sering sepekan sekali. Menyelesaikan misi PhD dalam kondisi masih “single” sudah sulit. Apalagi untuk mahasiswa molekular biologi yang harus melakukan eksperimen di lab. Komitmen harus 24/7, dan otak selalu harus berputar memikirkan project PhD yang sedang dijalani.
Rupanya lima bulan PhD programku berjalan, Allah berikan hadiah tambahan. Yang rupanya juga tantangan, kewajiban, dan ujian. Aku hamil bayi pertamaku! Saat itu rasanya kalang kabut karena merasa belum mempersiapkan kehamilan dengan matang. Aku terlalu sibuk dengan tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa.
Peraturan di jerman mewajibkan untuk melindungi tiap ibu hamil di lab. Dan karena eksperimenku tidak aman untuk ibu hamil, otomatis aku ter-kick-out dari project yg sedang aku jalani.
Aku pun banting setir mengerjakan project lain yang berbasis bekerja dengan komputer: biologi komputasi dan juga melakukan analisis data mikroskopi. Aku jalani hal tersebut selama lima bulan sebelum aku harus mengambil cuti melahirkan dan parenting. Lima bulan yang terasa panjang dan melelahkan sekali. Karena pada dasarnya aku kurang berminat dengan biologi komputasi. Tapi saat itu tidak ada pilihan lain, dan aku selalu tanamkan: it’s okay, it’s a learning. I love to learn something new!
Saat mengambil maternity leave aku pun merasa tidak nyaman jika tidak melakukan apa-apa untuk keep contact dengan ilmu. Dengn support dari suami, aku menyempatkan ikut online course disela ngeloni dan nyusuin bayi. Salah satu upaya agar otakku tidak beku.
Alhamdulillah, supervisorku juga melibatkan hasil kerjaku selama hamil untuk dipublikasikan dan aku bisa berperan sebagai co-writter dalam publikasi tersebut. Itu adalah kali pertamanya namaku ada di jurnal internasional yang ber-impact factor tinggi. Meskipun hanya berkontribusi sebagian kecil saja, tapi rasanya sangat bersyukur dan senang.
Aku yakin tidak ada perjuangan yang sia-sia.
DON’T TEACH ME, I LOVE TO LEARN!
adalah prinsip dan karakter moral seorang ibu profesional yang aku jadikan modal untuk menghadapi tantangan kehidupanku saat ini.
Begitu juga setelah lima bulan kembali ke bangku PhD, paska parental leave satu tahun. Aku harus memulai dari awal kembali PhD projectku. Belajar segalanya dari nol lagi, plus menghadapi tantangan komitmen sebagai mahasiswa, istri, dan ibu.
Semoga Allah berikan kekuatan dan kelancaran, serta ke-istiqomahan untuk hambanya yang berjuang dalam mencari ilmu-Nya. Amin.
Heidelberg, 12 Juni 2020
0 komentar: