Menyelami diri lebih dalam: hingga menuju tujuan

18.34 mamaegisa 0 Comments




Misi kali ini adalah kembali menyelami diri sendiri dan disodori kembali beberapa pertanyaan untuk merefleksi kepribadian yang selama ini ada, dan jika ada kurangnya maka harus diperbaiki.




Pertanyaan #1: Seperti apakah aku ini?

Sepertinya sejak kecil aku adalah tipe anak dengan kemauan yang keras/kuat. Jika ada kemauan yang diinginkan, maka aku akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara. Seringkali hal ini memicu kreativitas dan disalurkan dengan cara berjuang lebih keras daripada orang lain. Terkadang ada jiwa kompetitif juga yang muncul, apalagi jika "kemauan" tersebut terbatas peluang untuk mendapatkannya. Karakter tersebut kurasa adalah hal yang baik. Dengan kemauan yang kuat, maka akan ada bara semangat yang besar dalam melakukan hal yang diinginkan.

Namun ada juga drawbacknya, saat masih kecil dulu, sejauh ingatanku, seringkali aku tantrum karena frustasi jika kemauan tidak bisa dipenuhi, atau tersampaikan kepada orang tua agar mereka bisa membantu. Semoga saja saat ini, saat sudah menjadi mamak-mamak, kemampuan untuk berlegawa terhadap kegagalan dan proses penyampaian keinginan kepada orang lain semakin baik dan tidak seperti saat masa kecil lagi ya. Sehingga tidak ada lagi mamak tantrum karena frustasi jika kemauan tidak terpenuhi.

Pertanyaan #2: Apa yang membuat aku unik?

Beberapa orang, termasuk suamiku sendiri, pernah menilai diriku adalah seorang yang punya kemampuan fokus yang tinggi. Aku pun setuju. Jika sudah tenggelam dalam suatu pekerjaan, maka pikiranku, dan juga ragaku, bisa terpusat hanya pada pekerjaan itu dalam beberapa waktu atau hingga pekerjaan itu selesai.

Contoh sederhana adalah ketika aku membaca, meskipun hanya seremeh membaca pesan whatsapp, maka aku tidak akan bisa diajak ngobrol. Karena fokusku akan terserap pada perkerjaan membaca tersebut. Hehe.

Disisi lain, hal baik dari kemampuan fokus ini adalah jika ada misi besar yang harus aku jalani, maka aku juga akan bisa menyingkirkan gangguan-gangguan yang tidak penting sampai misi besarku selesai.

Contohnya disini adalah ketika aku menjalani masa studi master, ada beberapa kejadian diluar misi studi yang sebenarnya dapat menyita emosi, pikiran, dan perasaan. Dan kejadian itu tepat beberpa minggu sebelum ujian semesteran. Tidak perlu diceritakan apa kejadian tersebut disini. Namun, ketika itu saat perasaan sedih campur aduk, aku selalu masih bisa berkata pada diri sendiri "Yuk, fokus untuk belajar ujian. Jika satu hal sudah gagal, maka hal lain (ujian) jangan sampai gagal. Fokus. Tidak usah terlarut dalam kesedihan." Akhirnya, meski sedang ada badai menghadang, tidak bisa mengganggu misi utama yang sedang dijalani.

Pertanyaan #3: Nilai apa yang aku miliki?

Salah satu hal yang menurutku penting untuk selalu dimilik adalah komitmen. Dengan komitmen maka apa yang diperjuangkan akan mencapai titik tujuan. Dengan komitmen yang baik, maka akan timbul kepercayaan. Kepercayaan dari diri sendiri dan dari orang lain.

Biasanya jika sudah memulai sesuatu hal, maka akan kuperjuangkan hingga titik akhir. Karena sudah ada komitmen dari awal. Hal ini termasuk juga dengan berkomitmen dengan orang lain. Maka sebisa mungkin juga akan kuperjuangkan untuk dipegang.

Pertanyaan #4: Apa yang aku perjuangkan?

Dalam kehidupan, aku harus berjuang agar bisa lebih baik dari hari kehari. Boleh jadi ada kesalahan di masa lalu dan hari ini. Namun jangan sampai kesalahan itu terjadi dua atau tiga kali.

Selain itu, aku harus mengembangkan diri sendiri terus menerus. Harus dinamis, dan tidak boleh stuck dalam suatu titik karena merasa puas atau menyerah.

Jika aku bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari, dan terus mengembangkan diri, maka aku bisa menebarkan kemanfaatan yang seluas-luasnya. Bahkan bisa jadi kemanfaatan itu lintas generasi. Terutama dalam peranku sebagai seorang ibu. Semoga apa yang aku perjuangkan bisa dituai oleh anak cucuku kelak.

Pertanyaan #5: Apa kesamaanku dengan institut ibu profesional?

Merangkum beberapa poin yang disebutkan diatas, maka setidaknya antara aku yang sedang belajar di institut ibu profesional (iip) dan iip adalah adanya kesamaan misi. Misinya adalah untuk terus menerus belajar menjadi lebih baik. Untuk terus berusaha naik level dan memantaskan diri, sehingga peran-peran dalam kehidupan bisa dijalani dengan baik. Dan tujuan untuk menebarkan kemanfaatan dapat dicapai.

Heidelberg, 19 Juni 2019.
3:34 am.


0 komentar:

Perjuangan sebagai PhD Mama

06.24 mamaegisa 0 Comments




Mengenyam pendidikan formal sampai tingkat terakhir adalah mimpi yang kutanamkan sejak masih di bangku SD. Ingin sekali selalu semangat dalam menimba ilmu. Mungkin hal ini salah satunya terinspirasi dari ibuku sendiri. Perempuan yang bergelar doktor saat sudah punya tiga orang anak. Dan kini ibuku menjadi professor dibidang ilmu yang ia cintai.

Sosoknya menjadi cambuk pemicu semangatku dalam belajar menimba ilmu. Aku pun terhanyut dalam asyiknya mencicipi dunia pendidikan. Hingga sekarang aku sedang berjuang menyelesaikan jenjang PhD ku.

Rupanya sangat tidak mudah. Sulit sekali. Berat. Aku memulai program PhD ku sebulan setelah menikah, dan LDM dengan suami. Kami hanya bertemu paling sering sepekan sekali. Menyelesaikan misi PhD dalam kondisi masih “single” sudah sulit. Apalagi untuk mahasiswa molekular biologi yang harus melakukan eksperimen di lab. Komitmen harus 24/7, dan otak selalu harus berputar memikirkan project PhD yang sedang dijalani.

Rupanya lima bulan PhD programku berjalan, Allah berikan hadiah tambahan. Yang rupanya juga tantangan, kewajiban, dan ujian. Aku hamil bayi pertamaku! Saat itu rasanya kalang kabut karena merasa belum mempersiapkan kehamilan dengan matang. Aku terlalu sibuk dengan tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa. 

Peraturan di jerman mewajibkan untuk melindungi tiap ibu hamil di lab. Dan karena eksperimenku tidak aman untuk ibu hamil, otomatis aku ter-kick-out dari project yg sedang aku jalani. 

Aku pun banting setir mengerjakan project lain yang berbasis bekerja dengan komputer: biologi komputasi dan juga melakukan analisis data mikroskopi. Aku jalani hal tersebut selama lima bulan sebelum aku harus mengambil cuti melahirkan dan parenting. Lima bulan yang terasa panjang dan melelahkan sekali. Karena pada dasarnya aku kurang berminat dengan biologi komputasi. Tapi saat itu tidak ada pilihan lain, dan aku selalu tanamkan: it’s okay, it’s a learning. I love  to learn something new!

Saat mengambil maternity leave aku pun merasa tidak nyaman jika tidak melakukan apa-apa untuk keep contact dengan ilmu. Dengn support dari suami, aku menyempatkan ikut online course disela ngeloni dan nyusuin bayi. Salah satu upaya agar otakku tidak beku.

Alhamdulillah, supervisorku juga melibatkan hasil kerjaku selama hamil untuk dipublikasikan dan aku bisa berperan sebagai co-writter dalam publikasi tersebut. Itu adalah kali pertamanya namaku ada di jurnal internasional yang ber-impact factor tinggi. Meskipun hanya berkontribusi sebagian kecil saja, tapi rasanya sangat bersyukur dan senang.

Aku yakin tidak ada perjuangan yang sia-sia. 

DON’T TEACH ME, I LOVE TO LEARN!

adalah prinsip dan karakter moral seorang ibu profesional yang aku jadikan modal untuk menghadapi tantangan kehidupanku saat ini.

Begitu juga setelah lima bulan kembali ke bangku PhD, paska parental leave satu tahun. Aku harus memulai dari awal kembali PhD projectku. Belajar segalanya dari nol lagi, plus menghadapi tantangan komitmen sebagai mahasiswa, istri, dan ibu.

Semoga Allah berikan kekuatan dan kelancaran, serta ke-istiqomahan untuk hambanya yang berjuang dalam mencari ilmu-Nya. Amin.

Heidelberg, 12 Juni 2020


0 komentar: