5 Pelajaran dari Perjalanan Sebatang Kara
Cerita ini saya
alami saat mengikuti acara MUN (Mipa Untuk Negeri) di Universitas Indonesia. Kali itu adalah
kali pertamanya saya pergi ke luar kota seorang diri, tanpa satupun yang
menemani... Maklum, saya rejekinya masih tinggal di Jogja terus sejak umur 3
tahun, jadi dari TK sampai kuliah pun masih tetap di Jogja, dan kalaupun pergi
ke luar kota pasti ada temannya.
Nah, kali ini beda,
saya pergi sebatang kara...
Saya ke jakarta
dengan kereta malam yang saya rasa cukup nyaman dan aman, dan sampai di stasiun
gambir jam 4 pagi saat hari masih gelap dan lampu monas masih menyala. Karena
commuter pertama yang akan membawa saya ke stasiun UI baru tiba jam 6 pagi,
jadi saya punya waktu cukup sela untuk menunggu di peron yang mendadak jadi
sepi... Krik kriik kriiiik. Lalu saya
memutuskan untuk duduk di salah satu kursinya, sangat ngantuk, tapi terlalu
tegang dan was-was untuk kemudian merem sejenak. Hal yang paling membuat tidak
nyaman adalah efek "butterfly in the tummy" saat sendirian alias
perutnya jadi kruwal kruwel.
Kemudian tiba-tiba
ada sesosok hitam, beneran hitam dari atas sampai bawah, tiba tiba mendekat dan
duduk di sebelah.
Ternyata setelah saya menoleh ke kiri sosok tadi adalah bapak dengan jaket kulit dan setelah hitam yang tiba-tiba nimbrung. Kemudian berkata, "Saya lihat tadi dari jauh mbaknya duduk sendirian, hati-hati mbak kalau di Jakarta lagi sepi seperti ini." Deg ! Ini kata-kata bapaknya malah tambah bikin nggak bisa ngantuk dan saya semakin merapatkan koper-koper bawaan saya. Apalagi berhubung ini perjalanan sebatang kara saya yang pertama, orang tua selalu ngewanti-wanti untuk hati-hati sama orang disekitar, dan jangan terlalu berkhusnuzon dengan keadaan.
Ternyata setelah saya menoleh ke kiri sosok tadi adalah bapak dengan jaket kulit dan setelah hitam yang tiba-tiba nimbrung. Kemudian berkata, "Saya lihat tadi dari jauh mbaknya duduk sendirian, hati-hati mbak kalau di Jakarta lagi sepi seperti ini." Deg ! Ini kata-kata bapaknya malah tambah bikin nggak bisa ngantuk dan saya semakin merapatkan koper-koper bawaan saya. Apalagi berhubung ini perjalanan sebatang kara saya yang pertama, orang tua selalu ngewanti-wanti untuk hati-hati sama orang disekitar, dan jangan terlalu berkhusnuzon dengan keadaan.
Bapak tadi mengajak
ngobrol sana-sini tentang banyak hal. Keluarga, pekerjaan, pengalaman,
sampai-sampai obrolan mengkritisi pemerintahan. Hingga akhirnya kami menemukan
beberapa nama orang yang kami saling kenal, dan si Bapak memberitahu banyak hal
tentang bagaimana transportasi kalau di Jakarta-dan itu cukup membantu saya
yang bingung. Untunglah bapak ini baik.
Akhirnya commuter
pertama ke UI datang, dan pesan terakhir bapaknya adalah, "hati-hati mbak,
kalau bingung yaa jangan keliatan banget sama orang lain kalo lagi bingung,
banyak orang yang niatnya jahat lo". Alright pak, hadeeh, saya memang
terlalu ekspresif seperti biasanya, kalau bingung memang keliatan bingung
beneran dan ternyata hal ini nggak bagus bila sendirian dan anda perempuan.
Pelajaran #1: Bila Anda seseorang yang ekspresif, paling tidak
sembunyikan ekspresi bingung dan nggak tau apa-apa dibalik mimik muka yang
lebih dalam agar tidak muncul ke permukaan.
Sesampainya di UI
dan selama acara tidak perlu saya ceritakan, karena saya sudah tidak sebatang
kara lagi. Hehe.
Hari ketiga disana
setelah tugas saya untuk presentasi beres, saya ingin mengunjungi teman saya di
STAN. Setelah ribet tanya-tanya jalur commuternya ke teman-teman di UI saya
kemudian berangkat ke stasiun. Beruntungnya ada dua orang teman cowok dari Jogja
yang ingin pergi naik commuter yang sama, jadi saya pikir setidaknya saya tak
perlu sendirian. Eh tapi ketika kereta datang, saya malah masuk ke gerbong
wanita, sedangkan otomatis karena mereka bukan wanita, saya kembali sebatang
kara. Karena saya harus transfer kereta,
dari stasiun UI saya turun tanah abang dan naik kereta ke arah pondok raji.
Kesalahan saya untuk mbolang sendiri adalah pada jam pulang kerja rakyat
jakarta. Pas maghrib menjelang. Saya yang nggak pernah datang ke ibu kota shock
dengan manusia yang berjubel berebut KRL, bahkan commuter yang notabene lebih
mahal bayarnya. Indonesia....
Karena kereta penuh
sesak, instan saya tak bisa bergerak. Fokus saya sewaktu didalam adalah
mengamati titik-titik stasiun yang ada di peta di atas pintu dan menghitung
berapa kali lagi kereta akan berhenti hingga sampai di pondok raji,karena sulit
sekali melihat keluar jendela untuk memastikan sudah sampai stasiun apa. Hingga
akhirnya saya merasa sangat yakin kalau pondok raji adalah pemberhentian yang
berikutnya saat kereta berhenti. Dan saya masih santai tak ikutan berebut
keluar kereta. Tapi tiba-tiba saya nyeletuk bertanya pada bapak-bapak sebelah
saya, "Pak, pondok raji masih pemberhentian berikutnya kan?" Jawaban
bapaknya membuatku panik, "Ini sudah pondok raji mbak".. Jeng
jeeeeeng... Buru-buru saya menabrak orang-orang agar diberi jalan menuju pintu.
Setelah perjuangan yang brutal sampailah di ujung pintu dan saya melangkah
keluar, kemudian jegleeeeeek pintu tertutup! Fiuuuh. Untung masih sempet keluar
kereta. Setelah bertemu teman saya yang menjemput,saya baru tahu bahwa ada satu
stasiun dimana kereta tidak berhenti, sehingga hitungan saya salah.
Pelajaran #2: Jangan percaya sepenuhnya pada peta.
Pelajaran #2: Jangan percaya sepenuhnya pada peta.
Hingga tiba saatnya
di hari terakhir acara. Acara berakhir jam 11 malam, dan teman-teman yang lain
sudah pesan tiket untuk pagi hari berikutnya. Sedangkan saya pesan sudah pegang
tiket, dan untuk baru pulang malam hari dari jakarta. Memang sudah saya niatkan
dari awal bahwa saya ingin mbolang seharian sendirian di Jakarta, dan tujuannya
memang sudah ditetapkan berhubung ada misi tersembunyi di dalamnya: FKUI di
Salemba. Mantan my dream campus :3 ehee. Tetapi setelah ke Farmasi UGM, berjuta
syukur bisa kesana :D ..puk puuuk.
Untuk mencapai
kesana, saya pilih naik commuter dari depok ke salemba. Info dari teman via sms
malam sebelumnya, saya seharusnya turun di stasiun manggarai. Entah karena
nggak fokus, waktu naik kereta pikiran saya tersetting untuk turun di Gambir.
Alhasil sesampai di Manggarai saya malah santai melambai pada kawan-kawan yang
hendak pulang. Turunlah saya di Gambir, lalu bingung harus kemana. Beruntungnya
ke salemba dari Gambir tidak begitu jauh, dan misi ke FKUI Salemba itu
dijanjikan ada pengganti uang transport, jadi biar nggak usah bingung-bingung
lagi saya langsung aja naik taksi.. Hehe. Dan sampai juga ke FKUI :3
Pelajaran #3: Cek lagi tujuan pemberhentian berikutnya.Fokus pada
destinasi.
Seharian saya di
Salemba, *bener-bener habis di jalan waktunya*.
Saya kembali ke asrama UI depok untuk mengambil koper bawaan yang
tiba-tiba membengkak dan beranak pinak pasca sempat mampir tanah abang dan
kurangnya keahlian packing ^^. Setelah
leyeh-leyeh dan bersiap, saya ke depan asrama UI untuk menunggu bikun (bis
kuning) tercinta. Waktu itu ba'da maghrib, dan di depan asrama UI yang berhutan
lebat itu sudah gelap dan sepi.. Ziiiingg... Untungnya ada seorang ibu"
yang datang kemudian.
Dan sampailah pada puncak ke-error-an hari itu.
Setelah sekian menit duduk di halte, saya iseng mengecek jadwal kereta di tiket, dan yang membuat saya kaget adalah bahwa tertulis jam keberangkatan 21.00. Padahal seinget saya, sejak di jogja saya beli yang jam 22.00, dan saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 sedangkan bis kuning tidak segera datang. Saya mencoba santai, tapi takut juga kalau ketinggalan kereta karena saya tak tahu estimasi waktu perjalanan dari depok ke gambir berapa jam. Ditengah kegalauan menunggu bis kuning, ada mobil hitam avanza lewat, awalnya saya nggak begitu memperhatikan kalau mobil tersebut kemudian berhenti di dekat halte. Ada serang bapak, berpakaian safari hitam, keluar dari mobil dan menghampiri saya. Dengan sangat ramah bapak tersebut menawarkan tumpangan, "Mbak, mau ke mana?" Saya jawab "Nunggu bis kuning ke stasiun UI pak", "Saya mau kearah sana juga mbak, bareng saya saja yuk, saya baru saja antar bos ke wisma makara. Daripada mbaknya nunggu bikun masih lama lo."
Pada awalnya saya
ragu, namun sekilas tiba-tiba saya blank. Saya merasa tawaran bapak ini ada di
momen yang tepat sambil melihat tikungan dimana bikun belum muncul-muncul juga.
Saya sudah meraih koper-koper saya, bersiap. Kemudian bapaknya menawarkan hal
yang sama ke ibu di sebelah saya, "Mari ibu, juga saya antar sekalian
saja". Tapi ibu itu menggeleng. "Tidak apa bu, saya sekalian mau ke
daerah xxx (saya lupa daerahnya)" Dan ibu tersebut mantab menolak. Melihat
ibu itu tidak mau, saya kembali ragu, dan kembali sadar. Ah, bener juga, kenapa
saya mau-mau saja diajak si bapak, padahal saya tidak kenal, padahal
kendaraannya mobil, padahal saya sendirian, padahal saya perempuan. "Tidak
pak, terima kasih, maaf pak, saya naik bikun saja, tuh bikunnya sudah kelihatan
pak." Bapak tersebut kemudian
mengangguk dan berlalu.
Sejurus kemudian ibu
disebelah saya merapat dan menegur saya, "Mbak, hati-hati, hampir saja lo
tadi tuh. Jangan gampang percaya sama orang asing. Sekarang tuh penjahat sudah
bukan bertampilan gembel, tapi bisa jadi klimis kayak tadi itu mbak. Lagi pula
tadi juga nggak nyambung, dia mau ke daerah xxx, tapi ngakunya lewat UI, jelas
nipu bapak tadi itu mbak. Alhamdulillah tadi mbaknya sadar dan nggak jadi ikut,
kalau yang diambil Cuma barang sih yaa mungkin gak masalah ya mbak, nah kalau
yang lain-lainnya gimana mbak?"
Astaughfirullahaladzim... Bener juga kata ibu tadi... Syukuuur masih dikasih slameeet.
Astaughfirullahaladzim... Bener juga kata ibu tadi... Syukuuur masih dikasih slameeet.
Pelajaran #4 : Jangan mudah terbawa suasana panik dan galau, karena
dalam kondisi itu otak kita mudah dipengaruhi orang lain dan tidak bisa
berfikir dengan jernih.
Baru selesai ibu
tadi menegurku, datang seorang laki-laki lagi. Kali ini mahasiswa yang kemudian menyapa ibu
disebelahku, tampak sudah akrab. "Besok udah mulai Ramadhan, Budhe? Eh,
lagi sama anaknya ya Budhe?" dan begitulah, sampai akhirnya bikun datang
didepan kami.Kami bertiga buru-buru naik. Tapi karena koperku luar biasa
gendutnya, ditambah tas-tas lain yang menggondeli badan, tangan kekarku
ternyata tak kuat mengangkat ke atas bus. Awkward
moment -.-.
Untunglah mas
mahasiswa tadi ikut membantu menaikkan koperku ke atas bus. Kami bertiga
mengobrol selama di atas bikun. Dan tak hanya itu, mas tadi ikut turun di
stasiun UI, membawakan koper gendut itu turun, mengantrikan tiket commuter ke
gambir, dan mencarikan tempat duduk di peron. Wew. Lalu bertanya, "Sudah
makan?" dan tiba-tiba menghambur ke kios stasiun melakukan transaksi dan
kembali dengan sekresek jajanan. Baru duduk sejenak, keretaku datang, dan saya
masih dibantu membawa koper menghambur ke gerbong wanita. Great, gerbong yang sepi. Dia bergegas
meletakkan koperku didekat kursi, berpesan bermacam-macam agar berhati-hati,
dan mengajari cara berdzikir kalau sedang takut dan terancam. Ditambah saat
saya menanya siapa namanya, dia malah ketawa kecil sambil berkata bahwa nggak
perlu tau nama, nggak penting. Kemudian orang itu turun dari gerbong dan pamit.
Saya tiba-tiba bengong dan berteriak terimakasih dari atas gerbong. Dan pintu
kereta tertutup dengan otomatis. Jegreeeek.
Hahaha. Tiba-tiba
saya menyadari serentetan adegan ini kok malah jadi seperti cerita drama yaaa.
:3
Ehehehe. Tapi bukan
itu intinyaa... Intinya adalah, saya mendapat pelajaran kelima.
Kereta terus melaju,
meninggalkan pengalaman dan pelajaran menjadi catatan.
Kereta terus melaju,
saatnya kita menatap masa depan.
cerita sebatang kayu, hehe
BalasHapus