Tentang Surat Cinta

Sebenarnya aku termasuk penikmat puisi dan tulisan bebas, terlebih yang berima. Sehingga salah satu media komunikasi yang kuanggap "romantis" adalah lewat bentuk tulisan, salah satunya adalah lewat surat. Meski bagi sebagian orang dianggap jadul, namun aku ingat membaca surat-surat yang dilayangkan bapak ibuku dahulu saat berkenalan pertama kali, setahun sebelum aku lahir. Surat cinta mereka, dan juga surat-surat yang saling dikirimkan saat ibu bapakku LDM dulu. Masih tersimpan hingga sekarang, hampir tiga puluh tahun berselang. Surat-surat itu abadi. Menjadi saksi perjalanan cinta dan perjuangan mereka.

Berbeda di era digital saat ini. Tak akan pernah tahu hingga kapan backup media komunikasi bisa terarsipkan. Dan bahkan karena besar dan banyaknya jumlah media yang ada, orang bisa jadi sudah tidak ingat lagi dimana letak penyimpanannya. Nostalgia pun tak bisa dilakukan tahun-tahun berselang.

Ditambah lagi, tulisan tangan menambah kesan originalitas dari memori dan emosi yang ada saat penulis menuliskannya.

Namun ternyata baru-baru ini disadarkan lewat salah satu tantangan dari kelas matrikulasi ibu profesional, bahwa tak satupun surat cinta pernah kulayangkan untuk suamiku. 😅

Kami kenal dari teman kuliah biasa, kemudian dekat tanpa pakai basa basi bahasa. All things were straight to the point dan tidak butuh upaya gombal dan romantis-romantisan. Aku pun berusaha merasionalisasi hubungan antara dua manusia ini, sebisaku. Sehingga tak ada lagi drama-drama cinta yang tak perlu. Karena salah satu sisi yang kurang baik dari surat menyurat adalah banyaknya ahasa yang tersirat dan kadang menjadi tidak jelas, terlalu banyak kode.

Disisi lain, memang orangnya tipe yang lucu, bukan yang serius dan dramatis. Tak pandai merangkai kata dan puisi, katanya. Maka tak satupun pula surat pernah dia tuliskan untukku.

Maka tantangan kelas matrikulasi kali ini berhasil memfasilitasi semangat menulisku, yang kutujukan untuk orang nomor satuku saat ini. Kutulis jam tiga pagi. Waktu yang selalu syahdu untukku menulis isi hati. Ditambah lagi, bayiku sedang tertidur lelap hingga tak ada gangguan berarti. Tanpa terasa kutulis tiga halaman A4 tanpa garis, tulisan tangan dengan bolpen biru. Meski akhirnya setalah selesai ditulis, aku ragu jika tintanya bisa tahan lama dan tidak "mblobor". Ah, harusnya kutulis dengan pena yang lebih baik kualitasnya. Tapi tak apalah kali ini. Mungkin ada lagi lain waktu.

Selesai ditulis, kumasukkan dalam amplop biasa yang terlihat formal, dan kuselipkan diantara laptop kerjanya. Aku tahu, beberapa hari belakangan dia kan sedang bertugas mengantar anak ke daycare, lalu akan nongkrong sendirian di cafe dekat kampus, jadi mungkin akan menjadi momen tepat untuk membaca tulisanku. Kejutan.

Hari itu hari Kamis. Tak biasanya aku selesaikan pekerjaan lab dengan cepat dan harus analisis banyak data. Tiba-tiba ada yang mengirim voice message panjang. wkwkwk. Tidak kubuka di lab karena takut berisik. Aku hanya bilang akan menyusulnya ke cafe tempatnya nongkrong. Jadilah hari itu momen nge-date, mungkin yang kedua, setelah punya anak😆 Langka sekali momennya.

Seperti yang kuduga, dia jadi malu dan malah ketawa-ketiwi, mesam-mesem. Dia bilang akan memfigurakan suratnya, dan menscannya. Hahaaha, lebay amat.

Dan juga bilang, "Aku tapi gaak bisaaa kalau disuruh bales dengan rangkaian kata-kata kayak beginiii".
"Well, I know, but.. you don't have to😊"


Heidelberg, 10.07.2020
02:14 am


Menyelami diri lebih dalam: hingga menuju tujuan




Misi kali ini adalah kembali menyelami diri sendiri dan disodori kembali beberapa pertanyaan untuk merefleksi kepribadian yang selama ini ada, dan jika ada kurangnya maka harus diperbaiki.




Pertanyaan #1: Seperti apakah aku ini?

Sepertinya sejak kecil aku adalah tipe anak dengan kemauan yang keras/kuat. Jika ada kemauan yang diinginkan, maka aku akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara. Seringkali hal ini memicu kreativitas dan disalurkan dengan cara berjuang lebih keras daripada orang lain. Terkadang ada jiwa kompetitif juga yang muncul, apalagi jika "kemauan" tersebut terbatas peluang untuk mendapatkannya. Karakter tersebut kurasa adalah hal yang baik. Dengan kemauan yang kuat, maka akan ada bara semangat yang besar dalam melakukan hal yang diinginkan.

Namun ada juga drawbacknya, saat masih kecil dulu, sejauh ingatanku, seringkali aku tantrum karena frustasi jika kemauan tidak bisa dipenuhi, atau tersampaikan kepada orang tua agar mereka bisa membantu. Semoga saja saat ini, saat sudah menjadi mamak-mamak, kemampuan untuk berlegawa terhadap kegagalan dan proses penyampaian keinginan kepada orang lain semakin baik dan tidak seperti saat masa kecil lagi ya. Sehingga tidak ada lagi mamak tantrum karena frustasi jika kemauan tidak terpenuhi.

Pertanyaan #2: Apa yang membuat aku unik?

Beberapa orang, termasuk suamiku sendiri, pernah menilai diriku adalah seorang yang punya kemampuan fokus yang tinggi. Aku pun setuju. Jika sudah tenggelam dalam suatu pekerjaan, maka pikiranku, dan juga ragaku, bisa terpusat hanya pada pekerjaan itu dalam beberapa waktu atau hingga pekerjaan itu selesai.

Contoh sederhana adalah ketika aku membaca, meskipun hanya seremeh membaca pesan whatsapp, maka aku tidak akan bisa diajak ngobrol. Karena fokusku akan terserap pada perkerjaan membaca tersebut. Hehe.

Disisi lain, hal baik dari kemampuan fokus ini adalah jika ada misi besar yang harus aku jalani, maka aku juga akan bisa menyingkirkan gangguan-gangguan yang tidak penting sampai misi besarku selesai.

Contohnya disini adalah ketika aku menjalani masa studi master, ada beberapa kejadian diluar misi studi yang sebenarnya dapat menyita emosi, pikiran, dan perasaan. Dan kejadian itu tepat beberpa minggu sebelum ujian semesteran. Tidak perlu diceritakan apa kejadian tersebut disini. Namun, ketika itu saat perasaan sedih campur aduk, aku selalu masih bisa berkata pada diri sendiri "Yuk, fokus untuk belajar ujian. Jika satu hal sudah gagal, maka hal lain (ujian) jangan sampai gagal. Fokus. Tidak usah terlarut dalam kesedihan." Akhirnya, meski sedang ada badai menghadang, tidak bisa mengganggu misi utama yang sedang dijalani.

Pertanyaan #3: Nilai apa yang aku miliki?

Salah satu hal yang menurutku penting untuk selalu dimilik adalah komitmen. Dengan komitmen maka apa yang diperjuangkan akan mencapai titik tujuan. Dengan komitmen yang baik, maka akan timbul kepercayaan. Kepercayaan dari diri sendiri dan dari orang lain.

Biasanya jika sudah memulai sesuatu hal, maka akan kuperjuangkan hingga titik akhir. Karena sudah ada komitmen dari awal. Hal ini termasuk juga dengan berkomitmen dengan orang lain. Maka sebisa mungkin juga akan kuperjuangkan untuk dipegang.

Pertanyaan #4: Apa yang aku perjuangkan?

Dalam kehidupan, aku harus berjuang agar bisa lebih baik dari hari kehari. Boleh jadi ada kesalahan di masa lalu dan hari ini. Namun jangan sampai kesalahan itu terjadi dua atau tiga kali.

Selain itu, aku harus mengembangkan diri sendiri terus menerus. Harus dinamis, dan tidak boleh stuck dalam suatu titik karena merasa puas atau menyerah.

Jika aku bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari, dan terus mengembangkan diri, maka aku bisa menebarkan kemanfaatan yang seluas-luasnya. Bahkan bisa jadi kemanfaatan itu lintas generasi. Terutama dalam peranku sebagai seorang ibu. Semoga apa yang aku perjuangkan bisa dituai oleh anak cucuku kelak.

Pertanyaan #5: Apa kesamaanku dengan institut ibu profesional?

Merangkum beberapa poin yang disebutkan diatas, maka setidaknya antara aku yang sedang belajar di institut ibu profesional (iip) dan iip adalah adanya kesamaan misi. Misinya adalah untuk terus menerus belajar menjadi lebih baik. Untuk terus berusaha naik level dan memantaskan diri, sehingga peran-peran dalam kehidupan bisa dijalani dengan baik. Dan tujuan untuk menebarkan kemanfaatan dapat dicapai.

Heidelberg, 19 Juni 2019.
3:34 am.



Perjuangan sebagai PhD Mama




Mengenyam pendidikan formal sampai tingkat terakhir adalah mimpi yang kutanamkan sejak masih di bangku SD. Ingin sekali selalu semangat dalam menimba ilmu. Mungkin hal ini salah satunya terinspirasi dari ibuku sendiri. Perempuan yang bergelar doktor saat sudah punya tiga orang anak. Dan kini ibuku menjadi professor dibidang ilmu yang ia cintai.

Sosoknya menjadi cambuk pemicu semangatku dalam belajar menimba ilmu. Aku pun terhanyut dalam asyiknya mencicipi dunia pendidikan. Hingga sekarang aku sedang berjuang menyelesaikan jenjang PhD ku.

Rupanya sangat tidak mudah. Sulit sekali. Berat. Aku memulai program PhD ku sebulan setelah menikah, dan LDM dengan suami. Kami hanya bertemu paling sering sepekan sekali. Menyelesaikan misi PhD dalam kondisi masih “single” sudah sulit. Apalagi untuk mahasiswa molekular biologi yang harus melakukan eksperimen di lab. Komitmen harus 24/7, dan otak selalu harus berputar memikirkan project PhD yang sedang dijalani.

Rupanya lima bulan PhD programku berjalan, Allah berikan hadiah tambahan. Yang rupanya juga tantangan, kewajiban, dan ujian. Aku hamil bayi pertamaku! Saat itu rasanya kalang kabut karena merasa belum mempersiapkan kehamilan dengan matang. Aku terlalu sibuk dengan tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa. 

Peraturan di jerman mewajibkan untuk melindungi tiap ibu hamil di lab. Dan karena eksperimenku tidak aman untuk ibu hamil, otomatis aku ter-kick-out dari project yg sedang aku jalani. 

Aku pun banting setir mengerjakan project lain yang berbasis bekerja dengan komputer: biologi komputasi dan juga melakukan analisis data mikroskopi. Aku jalani hal tersebut selama lima bulan sebelum aku harus mengambil cuti melahirkan dan parenting. Lima bulan yang terasa panjang dan melelahkan sekali. Karena pada dasarnya aku kurang berminat dengan biologi komputasi. Tapi saat itu tidak ada pilihan lain, dan aku selalu tanamkan: it’s okay, it’s a learning. I love  to learn something new!

Saat mengambil maternity leave aku pun merasa tidak nyaman jika tidak melakukan apa-apa untuk keep contact dengan ilmu. Dengn support dari suami, aku menyempatkan ikut online course disela ngeloni dan nyusuin bayi. Salah satu upaya agar otakku tidak beku.

Alhamdulillah, supervisorku juga melibatkan hasil kerjaku selama hamil untuk dipublikasikan dan aku bisa berperan sebagai co-writter dalam publikasi tersebut. Itu adalah kali pertamanya namaku ada di jurnal internasional yang ber-impact factor tinggi. Meskipun hanya berkontribusi sebagian kecil saja, tapi rasanya sangat bersyukur dan senang.

Aku yakin tidak ada perjuangan yang sia-sia. 

DON’T TEACH ME, I LOVE TO LEARN!

adalah prinsip dan karakter moral seorang ibu profesional yang aku jadikan modal untuk menghadapi tantangan kehidupanku saat ini.

Begitu juga setelah lima bulan kembali ke bangku PhD, paska parental leave satu tahun. Aku harus memulai dari awal kembali PhD projectku. Belajar segalanya dari nol lagi, plus menghadapi tantangan komitmen sebagai mahasiswa, istri, dan ibu.

Semoga Allah berikan kekuatan dan kelancaran, serta ke-istiqomahan untuk hambanya yang berjuang dalam mencari ilmu-Nya. Amin.

Heidelberg, 12 Juni 2020



Mengenai Mengikat Makna: Ragam Ilmu untuk Ibu Profesional

Semakin mengikuti kelas matrikulasi institut ibu profesional, semakin disadarkan bahwa sebenarnya salah satu arahannya adalah untuk memahami diri kita sendiri. Pantas saja, personifikasi yang sering kali ditampilkan di kelas ini adalah tentang pelayaran dan penyelaman untuk menemukan harta karun: ada kerang, mutiara, berlian, permata, dan lain sebagainya.

Bahwa sejatinya di dalam diri kita ada sesuatu yang indah, sesuatu yang berharga, yang layak untuk kita ambil manfaat sebesar-besarnya. Hanya saja, sering kita tidak sadar dan tidak tahu. Yang kita butuhkan adalah perenungan dan arahan yang tepat untuk menemukannya.

Pelajaran kali ini adalah mengenai core value yang perlu diterapkan sebagai seorang ibu profesional Yakni: 
1. Belajar
2. Berkembang
3. Berkarya
4. Berbagi
5. Berdampak
Bagiku lima hal tersebut adalah sesuatu yang berkesinambungan dan sebuah proses, panjang namun pasti jika memang mau ditelateni.

Dari hasil diskusi core value yang ada, maka kita harus melalui tahapan pertama yaitu proses belajar. Tujuan dari proses belajar ini yaitu untuk mencapai definisi ibu profesional yang telah kutuliskan di postingan sebelumnya, yaitu:

"ibu yang bahagia, mampu berkarya sesuai passionnya, dan menjalankan seluruh perannya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan"
Tentunya banyak sekali PR dan hal yang harus dipelajari. Namun setidaknya disini aku akan mencoba menjabarkan ilmu krusial yang diperlukan "saat ini" untuk mencapai tujuan tersebut.

1. Ilmu yang perlu kupelajari adalah
  • tentang bagaimana mencintai diri sendiri, memaafkan kesalahan diri sendiri dan orang lain, dan berjuang bangkit untuk  melihat masa depan yang indah bersama keluarga. Dengan bekal ilmu tersebut maka setidaknya ibu yang bahagia bisa dicapai.
  • berbagai macam hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan kejiwaan anak (setidaknya untuk saat ini), dalam rangka menjalankan peran sebagai ibu.

2. Ilmu yang perlu aku latih adalah
  • mengenai manajemen stress dan anger. Dua hal ini adalah catatan besar untukku secara pribadi. Karena ledakan marah ini sangat berbahaya jika terus dipelihara. Dan sampai sekarang masih belum bisa pergi :(

3. Ilmu yang perlu aku tingkatkan adalah
  • ilmu tentang bersyukur terhadap segala nikmat yang Allah berikan selama ini. Untukku, untuk keluargaku.
  • berbagai macam hal untuk meningkatkan kualitas komunikasi dengan pasangan, dalam rangka menjalankan peran sebagai istri. Karena komunikasi adalah kunci.
  • aspek keilmuan di tempat kerjaku. Karena saat ini aku masih berstatus mahasiwa doktoran yang sedang berjuang menyelesaikan eksperimen untuk disertasiku, maka aku juga harus perform di tempat kerja dnegan cara banyak membaca dan memperluas wawasan dan pengalaman.

4. Ilmu yang bisa aku bagikan adalah...
  • hmm... semakin bertambahnya usia, semakin rasanya belum tahu apa-apa dan masih banyak kurangnya.  Namun jika memang ada yang membutuhkan sharing mengenai bagaimana perjuangan yang berkaitan untuk mencari beasiswa, meniti sekolah lanjutan ke Jerman, bagaimana pengalaman PhD student mom di negeri rantau, atau diskusi keilmiahan terkait biologi, molekular biologi, cancer biology,  maka dengan segala kekuranganku, aku akan dengan senang hati berbagi cerita dan bertukar pemikiran. 
Semoga Allah memberkahi kita semua.

Heidelberg, 14 Mei 2020.



My definition







Lets define! 





Tak Boleh Tuna Adab! : Tiga Aksi Membumikan CoC




Postingan kali ini didedikasikan untuk menyelesaikan misi ketiga dalam penjelajahan samudera kelas matrikulasi ibu profesional.

Kali ini terhenyak hatiku membaca salah satu quotes dari Ibu Septi Peni Wulandani. Istilah "tuna adab" yang digunakan seolah menamparku yang masih banyak kurangnya. Misi kali ini mengingatkan diri ini tentang bagaimana dalam menggapai ilmu, adab adalah salah satu hal yang didahulukan. Adab dulu, baru ilmu. Begitupun halnya ketika mengikuti perkuliahan di Institut Ibu Profesional (IIP), maka ada adab perkuliahan yang harus dijalankan.

Maka salah satu materi dalam kuliah IIP adalah tentang Code of Conduct yang harus dilakukan/ dibumikan olehku, salah satu dari mahasiswa IIP.  Ada tiga aksi yang harus dilakukan dalam perkuliahan ini:

1. Berusaha memiliki adab yang baik. Dalam hal ini tidak melakukan tindakan nista dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam komunitas IIP seperti yang telah dijabarkan di misi ke #2.

2. Berusaha aktif dalam kegiatan perkuliahan dan komunitas. Selalu berusaha berkontribusi dan tidak pasif.

3. Tidak plagiat dan selalu mencantumkan sumber yang bertanggung jawab dalam melakukan publikasi.

Ketiga aksi tersebut adalah sesuai dengan Code of Conduct IIP yaitu memiliki adab yang baik, aktif dan bertanggung jawab, dan publikasi bermartabat dan bertanggungjawab.

Aksi tersebut adalah adab yan baik dalam perkuliahan, sehingga ilmu akan didapatkan pun akan lebih maksimal.

Mari belajar!



Misi#2 Institut Ibu Profesional